Archive for July, 2019

Sedari kecil, saya diajari untuk tidak pilah pilih makanan. Apapun yang dimasak oleh Ibu, akan saya sikat dan habiskan. Beruntungnya, masakan Ibu (dan kebanyakan orang-orang) jaman dulu rasanya sedap dan enak. Tapi pada waktu tertentu, ada kalanya yang terhidang hanya masakan/makanan ala kadarnya. Semisal pagi hari, Ibu hanya sempat menggorengkan tempe atau tahu. Itu pun akan saya makan dengan lahap.

Seiring bertambahnya usia, seiring perjalanan ke perantauan, lidah saya mulai mendapati beragam rasa dari masakan yang sebelumnya tidak pernah saya rasakan. Bubur ayam, nasi padang, steak, spagheti adalah sebagian kecil dari deretan makanan yang baru bagi pencernaan saya. Tapi itu tidak pernah merubah prinsip saya, jika ada kesempatan makan di rumah atau membawa bekal dari rumah, maka itu yang akan saya pilih. Daripada makan makanan di warung.

Masakan di rumah lebih terjamin, itu alasannya. Terjamin dari segi kebersihan, terjamin dari segi asal usul makanan, terjamin dari segi pengolahan.

Memasak untuk sebuah keluarga tentu saja berbeda dibandingkan dengan memasak massal untuk dijual kembali. Ada lebih banyak tangan yang terlibat, ada kecepatan yang dituntut pakai gigi tinggi, tuntutan rasa yang harus enak, dan jelas ada kewajiban untuk menghasilkan profit. Dari sekian latar belakang itu, sangat mungkin menggugurkan beberapa aspek yang bisa kita pastikan ketika masak sendiri di rumah.

All you can eat. Satu konsep restoran yang “unik”. Kita bebas makan dan minum sebanyak-banyaknya dari semua menu yang ada pada restoran tersebut, dalam kurun waktu tertentu. Maka kita akan berlomba-lomba memasukkan semua kedalam perut. Bahkan ada yang berniat tidak makan dulu mulai pagi, agar rasa laparnya maksimal. Oughh..menyenangkan bukan? Sebenarnya tidak.

Tubuh sudah didesain menerima makanan dalam porsi dan waktu tertentu. Itulah kenapa ada prinsip, “Makanlah sebelum lapar, dan berhentilah sebelum kenyang.” Sebuah prinsip yang anggun sekaligus lugas, untuk menjaga agar kita tidak bertindak berlebihan dalam hal makan dan minum. Tentu saja, prinsip tersebut bertolak belakang dengan konsep All You Can Eat. Bagaimana kalau ditinjau dari segi medis? Makan terlalu kenyang tentu saja akan membebani organ pencernaan kita. Dan lagi, saat kekenyangan bukanlah saat yang nyaman. Tidak lagi terasa bekas nikmat makan dan minum. Yang tersisa hanya rasa kepenuhan, bahkan kadang ingin muntah.

Saya lebih memilih makan di rumah, memakan masakan hasil karya istri. Atau membawanya sebagai bekal saat hari kerja. Dan saya tidak ada masalah jika harus memakan satu jenis masakan untuk 3 kali makan dalam sehari, sama sekali tidak. Saya akan sebisa mungkin menghindari konsep All You Can Eat. Pilih yang sedang-sedang saja. Bagaimana dengan anda?

Hari jum’at kemarin saya mengantarkan Ayah mertua ke RS(UD) Soewandi di Surabaya. Saya belum tau dan belum googling apakah di tempat lain ada nama RS yang serupa. Saya pun belum tau dan belum googling siapa gerangan bapak Soewandi tersebut. Tapi tentu saja, beliau adalah seseorang yang sudah sangat berjasa sehingga namanya diabadikan menjadi nama rumah sakit.

Tujuan ke RS Soewandi kali ini untuk melakukan operasi pemasangan double lumen yang terlepas. Apa itu double lumen? Secara singkat, itu adalah alat (selang) yang dipasang pada pasien yang melakukan perawatan cuci darah. Peletakannya biasanya di bahu, yang terhubung langsung dengan arteri dan vena. Double lumen inilah perantara antara mesin hemodialisis (cuci darah) dengan tubuh pasien.

Proses operasinya sendiri tidak lama, hanya sekitar 30 menit, yang lama adalah proses antri “saja” 🙂 Tapi hal ini sangat bisa dimaklumi karena rumah sakit ini adalah salah satu rujukan utama di Surabaya. Secara keseluruhan, saya mempunyai kesan positif untuk beberapa hal yang akan saya bahas satu persatu di bawah ini. Bahkan, RS ini termasuk yang akan saya rekomendasikan untuk tipe RS milik pemerintah di Surabaya.

Poin pertama, kebersihan. Tentu saja, sebagai tempat perawatan dan penyembuhan, sudah selayaknya kebersihan adalah hal yang diutamakan pada sebuah rumah sakit. Saya lihat, tempat sampah pada rumah sakit ini tersedia cukup banyak, pada posisi yang mudah dilihat dan strategis. Patroli petugas kebersihannya pun cukup sering, dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama. Sehingga tidak sampai ada sampah, kotoran, atau bekas makanan yang tinggal lama di suatu tempat.

Poin kedua, keramahan petugas. Saya baru “mencoba” beberapa rumah sakit di Surabaya, dan berharap tidak mencoba rumah sakit lain, tapi dari sekian rumah sakit tersebut ada yang petugasnya kurang ramah terhadap pasien atau anggota keluarganya, atau pengunjungnya. Tapi tidak di rumah sakit ini. Semua petugas yang saya temui dari awal selalu menjawab dengan senyum, meskipun saya tau dari sekian orang itu ada yang wajahnya sudah nampak lelah sekali.

Poin ketiga, teknologi informasi. Rumah sakit ini mengadopsi teknologi informasi yang baik. Waktu pertama kali mendaftar hanya tinggal memasukkan NIK saja, tidak perlu tetek bengek lain. Antrian pun sudah online. Sangat memudahkan bagi pasien untuk merencanakan kunjungan.

Sudah itu saja. Meskipun RS Soewandi ini bagus, semoga kita semua diberikan kesehatan agar tidak perlu dirawat di sini atau di rumah sakit lainnya. Aamiin.. Tempat tidur di rumah tetap jauh lebih nyaman daripada tempat tidur termewah dan ternyaman di rumah sakit.