Sedari kecil, saya diajari untuk tidak pilah pilih makanan. Apapun yang dimasak oleh Ibu, akan saya sikat dan habiskan. Beruntungnya, masakan Ibu (dan kebanyakan orang-orang) jaman dulu rasanya sedap dan enak. Tapi pada waktu tertentu, ada kalanya yang terhidang hanya masakan/makanan ala kadarnya. Semisal pagi hari, Ibu hanya sempat menggorengkan tempe atau tahu. Itu pun akan saya makan dengan lahap.
Seiring bertambahnya usia, seiring perjalanan ke perantauan, lidah saya mulai mendapati beragam rasa dari masakan yang sebelumnya tidak pernah saya rasakan. Bubur ayam, nasi padang, steak, spagheti adalah sebagian kecil dari deretan makanan yang baru bagi pencernaan saya. Tapi itu tidak pernah merubah prinsip saya, jika ada kesempatan makan di rumah atau membawa bekal dari rumah, maka itu yang akan saya pilih. Daripada makan makanan di warung.
Masakan di rumah lebih terjamin, itu alasannya. Terjamin dari segi kebersihan, terjamin dari segi asal usul makanan, terjamin dari segi pengolahan.
Memasak untuk sebuah keluarga tentu saja berbeda dibandingkan dengan memasak massal untuk dijual kembali. Ada lebih banyak tangan yang terlibat, ada kecepatan yang dituntut pakai gigi tinggi, tuntutan rasa yang harus enak, dan jelas ada kewajiban untuk menghasilkan profit. Dari sekian latar belakang itu, sangat mungkin menggugurkan beberapa aspek yang bisa kita pastikan ketika masak sendiri di rumah.
All you can eat. Satu konsep restoran yang “unik”. Kita bebas makan dan minum sebanyak-banyaknya dari semua menu yang ada pada restoran tersebut, dalam kurun waktu tertentu. Maka kita akan berlomba-lomba memasukkan semua kedalam perut. Bahkan ada yang berniat tidak makan dulu mulai pagi, agar rasa laparnya maksimal. Oughh..menyenangkan bukan? Sebenarnya tidak.
Tubuh sudah didesain menerima makanan dalam porsi dan waktu tertentu. Itulah kenapa ada prinsip, “Makanlah sebelum lapar, dan berhentilah sebelum kenyang.” Sebuah prinsip yang anggun sekaligus lugas, untuk menjaga agar kita tidak bertindak berlebihan dalam hal makan dan minum. Tentu saja, prinsip tersebut bertolak belakang dengan konsep All You Can Eat. Bagaimana kalau ditinjau dari segi medis? Makan terlalu kenyang tentu saja akan membebani organ pencernaan kita. Dan lagi, saat kekenyangan bukanlah saat yang nyaman. Tidak lagi terasa bekas nikmat makan dan minum. Yang tersisa hanya rasa kepenuhan, bahkan kadang ingin muntah.
Saya lebih memilih makan di rumah, memakan masakan hasil karya istri. Atau membawanya sebagai bekal saat hari kerja. Dan saya tidak ada masalah jika harus memakan satu jenis masakan untuk 3 kali makan dalam sehari, sama sekali tidak. Saya akan sebisa mungkin menghindari konsep All You Can Eat. Pilih yang sedang-sedang saja. Bagaimana dengan anda?